Kesan kuat yang kurasakan ketika mengenal kehidupan dan budaya Denmark adalah karakter perempuan Denmark yang kuat. Kuat yang kumaksud adalah 'mereka tahu apa yang mereka mau' serta 'lebih berani mengambil keputusan untuk hidup mereka sendiri'. Kesan kuat itu semakin bertambah ketika mendengar intonasi bahasa Danish yang keluar diucapkan dari mulut perempuan Danish terkesan lebih keras dan menghentak daripada laki-laki. Tentu saja semua ini adalah murni subyektivitas dari apa yang kurasakan dan kudengar sehari-hari ketika berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman di sini.
Ketika kusampaikan hal ini kepada beberapa teman perempuan Danish, kesan kuat yang kurasakan itu mungkin disebabkan oleh pola asuh anak di Denmark. “Di Denmark, sejak kecil kami telah diberi ruang gerak dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki sehingga kami tidak takut untuk bersaing secara sehat dengan mereka”, jelas Dorte kawan baruku yang memiliki keahlian dalam mendesign pakaian, namun memutuskan untuk meneruskan pendidikan S2 nya dalam bidang psikologi anak. Selain itu di Denmark kaum perempuan sangat dilindungi secara hukum baik dalam aspek kehidupan keluarga (hubungan suami-istri) maupun kehidupan di dunia kerja.
Namun menurut Dorte, kondisi ‘persamaan’ tersebut tidak serta merta menguntungkan perempuan, karena ternyata juga menimbulkan dilema di dalam diri si perempuan sendiri. Misalnya ketika perempuan itu bekerja full time dan suatu waktu dia menikah, hamil dan harus mengasuh anak. Kebanyakan perempuan Danish sebetulnya lebih memilih untuk dapat cuti hamil lebih lama daripada hanya 12 bulan (peraturan cuti hamil di Denmark) dan menikmati kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga full time dan tidak perlu bekerja di luar rumah. Namun perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja masih sangat janggal di Denmark. Selain itu kaum laki-laki atau suami lebih menyukai istrinya untuk juga bekerja menghasilkan uang dalam rangka membantu kehidupan ekonomi (bukan sekedar mencari aktualitas), karena di Denmark penghasilkan dari suami saja tidak akan cukup untuk menopang kehidupan suatu keluarga dengan anak-anak . Walau sekolah dan kesehatan 100% gratis, namun biaya hidup di Denmark sangatlah tinggi. Selain itu sistem sosial di Denmark sangat mengharapkan perempuan untuk turut berperan aktif dalam dunia kerja sehingga dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang akan dimanfaatkan kembali untuk kehidupan masyarakat bersama (sekolah, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dsb).
Beda sekali dengan di Indonesia, dimana bekerja full time masih menjadi pilihan alternatif bagi sebagian kaum perempuan. Perempuan di Indonesia masih dapat leluasa memilih untuk bekerja (itu juga kalau diijinkan suami ) atau tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga full time. Tentu saja tidak semua kaum perempuan Indonesia memiliki hak istimewa seperti itu, banyak juga perempuan-perempuan yang harus bekerja demi mempertahankan hidup misalnya perempuan pekerja pabrik, pekerja seks komersial, dan masih banyak contoh lainnya dimana perempuan mau tak mau harus bekerja di luar rumah.
Selain itu persamaan antara laki-laki dan perempuan tidak 100% mutlak berlaku di negeri ini. Misalnya ketika pemilihan ketua organisasi terdapat dua orang kandidat satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Walaupun secara kualitas keduanya sama, kemungkinan besar organisasi itu akhirnya akan diketuai oleh sang laki-laki karena lebih hemat secara biaya. Perempuan Danish dengan fasilitas dan perlindungan yang dia miliki ternyata dianggap sebagai ‘produk mahal’ (misalnya karena dia tetap mendapatkan gaji full walau cuti hamil selama 1 tahun) belum lagi hak-hak mengajukan keluhan/ complain. Jadi seperti senjata makan tuan.
Di dunia kerja walaupun secara hukum dinyatakan secara tegas tidak diperbolehkan membedakan pemberian upah antara laki-laki dan perempuan, namun pada kenyataannya di Denmark perempuan masih mendapatkan gaji yang sedikit lebih rendah daripada laki-laki. “Perempuan Danish tampaknya kurang agresif dalam melakukan negosiasi upah”, begitu jelas suamiku ketika kutanyakan mengenai hal ini.
Jadi ternyata kesan kuat yang kurasakan itu tidak semuanya benar dan tidak semuanya salah. Semuanya mengandung konsekuensinya masing-masing. Misalnya ketika Dorte memutuskan untuk berpisah dan bercerai dengan suami pertamanya . “Saya tidak dapat lagi meneruskan pernikahan itu dan itu merupakan pilihan yang juga dihormatinya (mantan suami)”, ujarnya. Sakit hati dan konflik selama proses perceraian adalah hal yang wajar dan dirasakan oleh hampir semua pasangan yang berpisah. “Mungkin kami di Denmark melihat perceraian ini secara lebih santai saja, jadi kebanyakan orang Denmark setelah bercerai masih menjadi teman dan masalah pengasuhan anak-anak ditanggung bersama-sama”, jelasnya lagi ketika kusinggung bagaimana perempuan Danish menghadapi masalah perceraian.
No comments:
Post a Comment