Banyak orang Danish yang masih sering terheran-heran dengan kebiasaan orang Asia atau Indonesia yang tinggal di sini. Kebanyakan mereka adalah suami atau istri dan keluarganya yang bersaudara dengan orang Indonesia yang kebetulan masuk sebagai anggota keluarga mereka.
Kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia yang mereka anggap ga lazim atau aneh misalnya:
Makan pakai tangan, dan kadang lupa cuci tangan ihhh....
Kalau udah ketemu orang Indonesia lainnya, cepat banget langsung nyambung ngobrol sampai lupa segala-galanya, padahal baru ketemu atau cuma kenal via Facebook.
Kebiasaan saling berkunjung dan makan bersama, walau yang berkumpul itu bukan teman-teman dekat banget, yang penting sama-sama orang Indonesia :)
Suka bergunjing (ini dia nih yang suamiku paling cerewet ke aku). Kalau dia melihat aku sudah terlibat jauh dengan arena pergunjingan, biasanya dia akan bilang ¨jangan ikutan, itu kan bukan urusan kamu, ga ada gunanya ikut-ikutan¨.
Kalau lagi ngomong, suka berebutan ngomong, ga mau mendengar karena senangnya ngomong dan didengar. Ini subyektivitas suami ku ya hehehe (secara dia suka ga sengaja ikutan memperhatikan kalau istri dan teman-temannya pada ngumpul).
Saling pamer harta kekayaan atau hal-hal lainnya yang ga penting, kalau ini kayanya bukan kebiasaan orang Indonesia saja sih, tapi memang kita punya kecenderungan lebih besar bertingkah seperti ini daripada orang Danish nya sendiri.
Takut sama sinar matahari karena takut jadi hitam. Karena kebanyakan orang Danish sendiri benci sama warna kulit mereka yang pucat. Makanya kalau ke Indonesia mereka betul-betul balas dendam menghitamkan kulit mereka :D di bawah sinar matahari.
Nah, ada yang mau nambahin ga, kira-kira kebiasaan orang Indonesia yang dianggap ga lazim sama orang sini?
Translate
Wednesday, February 15, 2012
Saturday, February 11, 2012
Sambungan... Dua Tahun Pertamaku
Uhhh..akhirnya bisa jeda sejenak, dan bisa diam-diam masuk kamar dan duduk tenang di meja kerjaku, sementara suamiku masih asyik ngobrol dengan Henrik keponakannya yang malam minggu ini kami undang makan di sini.
Kebetulan akhir pekan ini aku libur kerja, jadi bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga di rumah, dan tentunya membereskan pekerjaan rumah tangga yang agak terbengkalai, seperti membersihkan rumah, membereskan tumpukan pakaian bersih (di sini aku sudah mulai tidak maniak menyetrika) hanya kemeja suami, kemeja kerjaku, celana-celana panjang yang masuk daftar HARUS DISETRIKA, selebihnya hanya dilipat manis saja ;)
Syukurlah suamiku tipe suami yang ringan tangan. Melihatku sibuk, dia tanpa aku minta akan membantu membersihkan rumah, atau membantuku mencuci piring bahkan memasak. Rasanya terbantu sekali bila dia ada di rumah.
Aku jadi ingat, pernah ada saat-saat aku harus sendiri tanpa dia. Pertamakalinya adalah ketika dia harus bertugas di Zanzibar Afrika selama kurang lebih dua bulan, dan Haiti selama kurang lebih 6 bulan. Selalu sebelum menjawab Iya terhadap tawaran kerja yang dia dapat, Lars selalu meminta persetujuanku. Dia bilang :¨bila kamu tidak setuju aku pergi, aku tidak akan pergi¨.
Memang terasa berat kala itu buat aku. Bukan karena aku takut harus melakukan semuanya sendirian tanpa bantuannya, tapi lebih karena aku benci rasanya pulang ke rumah, dan tidak ada teman ngobrol yang seru --tempat bertukar pikiran-- seperti biasanya. Namun aku harus mengalahkan ego dan berpikir logis. Saat itu aku belum bekerja, dan satu2nya peluang untuk meneruskan roda perekonomian keluarga adalah Lars harus menerima tawaran pekerjaan itu.
Ketika pergi bekerja jauh dari keluarga, suamiku bilang dia selalu yakin aku bisa melakukan sesuatunya tanpa bantuannya. Dia juga selalu mengingatkan bahwa aku tidak sendirian di Denmark. Keluarga besarnya selalu ada buat aku. Ya aku memang tidak sendirian di sini, selain keluarga besar Møller, aku juga punya teman2 Indonesia yang siap membantuku ;)
Aku menjalani kesendirianku dengan berani. Aku bilang ke Lars: ¨Pergilah, ini kesempatan baik buat kamu dan juga buat aku dan Bintang. Jangan kuatir aku bisa menjaga diriku dan Bintang baik-baik selama kamu tidak ada¨.
Kesendirian memaksa aku bergerak lebih cepat dan mandiri dalam mengambil keputusan. Alhamdulilah aku bisa menjalaninya dengan baik dan beruntung diberi kesempatan oleh Tuhan untuk ¨sendirian¨ sesaat karena aku jadi lebih mandiri dan cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Setelah tugas di Haiti selesai, Lars mendapat tawaran kerja di Denmark yaitu di salah satu kommune di bagian Lingkungan Hidup, pekerjaan yang memang sesuai dengan minatnya. Untuk sementara dia tidak akan berpetualang lagi di luar Denmark. Namun kami berdua tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Bila pun dia harus pergi lagi, aku siap. Ini bagian dari konsekuensi menikahinya. Toh aku sudah lebih siap kali ini dan sudah teruji pula :)
Kebetulan akhir pekan ini aku libur kerja, jadi bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga di rumah, dan tentunya membereskan pekerjaan rumah tangga yang agak terbengkalai, seperti membersihkan rumah, membereskan tumpukan pakaian bersih (di sini aku sudah mulai tidak maniak menyetrika) hanya kemeja suami, kemeja kerjaku, celana-celana panjang yang masuk daftar HARUS DISETRIKA, selebihnya hanya dilipat manis saja ;)
Syukurlah suamiku tipe suami yang ringan tangan. Melihatku sibuk, dia tanpa aku minta akan membantu membersihkan rumah, atau membantuku mencuci piring bahkan memasak. Rasanya terbantu sekali bila dia ada di rumah.
Aku jadi ingat, pernah ada saat-saat aku harus sendiri tanpa dia. Pertamakalinya adalah ketika dia harus bertugas di Zanzibar Afrika selama kurang lebih dua bulan, dan Haiti selama kurang lebih 6 bulan. Selalu sebelum menjawab Iya terhadap tawaran kerja yang dia dapat, Lars selalu meminta persetujuanku. Dia bilang :¨bila kamu tidak setuju aku pergi, aku tidak akan pergi¨.
Memang terasa berat kala itu buat aku. Bukan karena aku takut harus melakukan semuanya sendirian tanpa bantuannya, tapi lebih karena aku benci rasanya pulang ke rumah, dan tidak ada teman ngobrol yang seru --tempat bertukar pikiran-- seperti biasanya. Namun aku harus mengalahkan ego dan berpikir logis. Saat itu aku belum bekerja, dan satu2nya peluang untuk meneruskan roda perekonomian keluarga adalah Lars harus menerima tawaran pekerjaan itu.
Ketika pergi bekerja jauh dari keluarga, suamiku bilang dia selalu yakin aku bisa melakukan sesuatunya tanpa bantuannya. Dia juga selalu mengingatkan bahwa aku tidak sendirian di Denmark. Keluarga besarnya selalu ada buat aku. Ya aku memang tidak sendirian di sini, selain keluarga besar Møller, aku juga punya teman2 Indonesia yang siap membantuku ;)
Aku menjalani kesendirianku dengan berani. Aku bilang ke Lars: ¨Pergilah, ini kesempatan baik buat kamu dan juga buat aku dan Bintang. Jangan kuatir aku bisa menjaga diriku dan Bintang baik-baik selama kamu tidak ada¨.
Kesendirian memaksa aku bergerak lebih cepat dan mandiri dalam mengambil keputusan. Alhamdulilah aku bisa menjalaninya dengan baik dan beruntung diberi kesempatan oleh Tuhan untuk ¨sendirian¨ sesaat karena aku jadi lebih mandiri dan cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Setelah tugas di Haiti selesai, Lars mendapat tawaran kerja di Denmark yaitu di salah satu kommune di bagian Lingkungan Hidup, pekerjaan yang memang sesuai dengan minatnya. Untuk sementara dia tidak akan berpetualang lagi di luar Denmark. Namun kami berdua tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depan. Bila pun dia harus pergi lagi, aku siap. Ini bagian dari konsekuensi menikahinya. Toh aku sudah lebih siap kali ini dan sudah teruji pula :)
Monday, February 6, 2012
Dua tahun pertamaku
Ngga terasa sudah masuk bulan Pebruari, berarti sebentar lagi di akhir bulan aku sudah memasuki tahun kedua tinggal di Denmark.
Aku dan keluarga (Lars dan Bintang) tiba di Denmark akhir Pebruari 2010. Ketika itu aku masuk ke Denmark dengan mengantongi visa turis 3 bulan.
Sesampainya kami di Denmark, aku dan suami bergegas mengurus semua hal yang berkaitan dengan ijin tinggal 2 tahun pertamaku. Waktu itu aku sempat kuatir karena kami masih tinggal menumpang di rumah mamanya Lars. Untung peraturan menyatakan boleh tinggal bersama orangtua asal bisa membuktikan dengan dokumen2 rumah yang sah.
Setelah semua dokumen siap, kami berdua mengantarkannya sendiri ke bagian pelayanan orang asing di kantor polisi di Slagelse (kota domisili kami). Waktu itu proses pembuatannya belum dikenakan biaya seperti sekarang. Kami diminta untuk menunggu kabar selanjutnya tentang ijin tinggalku. Walau visa turisku habis masa berlakunya di bulan Mei 2010, aku masih diperbolehkan untuk tinggal di Denmark karena statusku yang menunggu proses ijin tinggal pertamaku.
Alhamdulilah di akhir Mei 2010, aku sudah mengantongi ijin tinggal pertama untuk 2 tahun pertama. Dengan ijin tinggal itu aku memiliki hak untuk mendapatkan sekolah bahasa gratis, bekerja, dan pelayanan sosial lainnya. Pintu pertama sudah terbuka.
Aku memasukinya dengan memulai mempelajari bahasa Danish. Tantangan yang luar biasa, karena bahasa yang satu ini tidak bisa dibilang mudah. Aku masuk pendidikan bahasa 3 (Dansk Uddanelse 3) dan dimulai dengan modul 1. Sekolah bahasa ini aku jalani secara rutin layaknya sekolah biasa: dari jam 8.15 pagi hingga 2 siang.
Kenapa kok belajar bahasa Danish itu penting? Karena bahasa Danish adalah pintu utama yang membuatmu nyaman tinggal di negara ini. Walau banyak warga Denmark handal berbahasa Inggris, namun mereka akan lebih menghormati bila kita mampu berkomunikasi dalam bahasa Danish. Selain itu kemampuan bahasa Danish menjadi kunci pembuka pintu-pintu peluang lainnya: seperti misalnya melanjutkan sekolah atau bekerja.
Kenapa kok harus kerja? Iyalah, kita harus menghasilkan uang di negara ini. Selain karena kebutuhan ekonomi pribadi, apa-apa serba mahal di sini :( Negara juga mendorong penduduknya untuk berkontribusi secara aktif dalam pemasukan pajak negara. Uang pajak itulah yang kembali dalam bentuk sekolah gratis, RS gratis, jalan tol gratis, dsb.
Aku mulai hunting cari kerja sejak aku mulai masuk modul 3 di sekolah bahasa. Susahnya minta ampun. Ratusan lebih surat penolakan aku terima. Paling banter pun hanya masuk interview awal. Kendala utamanya adalah kemampuan bahasa danishku yang masih belum bagus, sementara banyak orang2 Danish juga sedang berburu pekerjaan yang sama. Stress pun mulai melanda. Rasa percaya diriku melotot drastis.
Namun aku tidak berhenti berusaha. Tanya kiri kanan, akhirnya di akhir bulan Juni 2011 ada seorang kawan satu sekolah yang menawari pekerjaan di kafe kecil yang berada di dalam kebun penjualan bunga mawar. Walaupun sama sekali tidak memiliki pengalaman di restoran sebelumnya, aku memberanikan diri mengambil tantangan ini.
Aku bekerja di sana selama musim panas Juni hingga akhir Agustus 2011. Banyak hal baru aku pelajari. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga sosial budaya berinteraksi langsung dengan banyak orang2 Danish.
Alhamdulilah lambat laun bahasa danishku mulai terasah. Di saat yang sama aku mencoba-coba melamar sebagai tenaga penerjemah paruh waktu di kantor polisi. Gayung bersambut, mereka memanggilku untuk interview dan tes, karena mereka masih membutuhkan penerjemah dari Indonesia. Setelah interview dan tes, aku dinyatakan lulus dan mendapat nomor resmi penerjemah dari pihak kepolisian. Namaku terdaftar resmi sebagai tenaga penerjemah!
Pekerjaan ini aku lakukan di waktu senggang ketika sedang off bekerja di restoran. Lumayan lah selain melatih keberanian, aku juga mengasah terus kemampuan bahasa Danish yang aku pelajari di sekolah (selain tentunya menambah uang belanja ;) )
Musim panas 2011 berakhir, tempatku bekerja harus tutup untuk sementara, karena musim dingin mulai menjelang. Praktis aku kehilangan pekerjaan yang memberiku penghasilan. Stress mulai pun melanda lagi. Aku segera sibuk mencari pekerjaan baru. Bersepeda keliling menawarkan CV ke semua tempat menjadi aktivitas rutinku hampir tiap hari. Banyak orang angkat topi untuk usahaku ini.
Di puncak kegalauanku aku ingat masih punya simpanan perhatian dari pihak job centre Slagelse, karena sejak aku tinggal di Denmark mereka terkesan cuek dan tidak pernah menanyakan kondisiku samasekali. Hanya lewat pos saja mereka berkomunikasi denganku, hanya untuk urusan tandatangan kontrak integrasi :(
Aku telpon mereka dan menyatakan ingin bertemu. Di dalam pertemuan pertama, protes pertama yang aku lempar adalah "kemana saja selama ini, kok ga ada perhatian sama sekali?" Jawab mereka malah membuatku tambah kesal, mereka bilang pihak sekolah bahasa bilang kamu pandai dan bisa mencari pekerjaan sendiri. Jadi tidak perlulah kami membantumu. Aku tidak bisa menerima alasan ini, dan dengan sedikit menekan meminta mereka mencarikan aku pekerjaan. Aku ingat saat itu konsulerku bertanya "pekerjaan apa yang kamu inginkan?" aku jawab: "manager". Dia tersentak dan menjawab: "sabar lah kami belum bisa mencarikan pekerjaan untuk level itu karena mengingat kamu belum selesai sekolah bahasa". Akhirnya di ujung pertemuan mereka berjanji mencarikan pekerjaan (apa saja asal halal) untuk aku. Tanpa bisa protes berpanjang lebar aku menerima tawaran mereka.
Hanya satu hari berselang setelah pertemuan dengan job centre, akhir september 2011 aku sudah terdampar di Danhostel Korsør (sejenis tempat penginapan, tempat kursus, rapat, pesta, dsb). Sebagaimana pendatang lainnya dari Thailand, Cina, Vietnam dan Somalia, pekerjaan awal yang harus aku lakoni adalah sebagai cleaning service yang harus membersihkan kamar, lantai, dapur, jendela, termasuk membersihkan toilet. Terus terang aku benci pekerjaan ini, namun aku tak punya pilihan lain. Ini adalah pintu yang harus aku masuki dengan sabar dan ikhlas.
Alhamdulilah hanya kurang dari 3 hari, pintu lain terbuka untukku. Setelah mengamatiku selama 3 hari :) mereka menawari aku membantu bekerja di kantor dan sekali-kali membantu menyiapkan makanan pagi buat para tamu. Selamat tinggal toilet :)
Pekerjaan sebagai asisten kantor/ resepsionis merangkap pembuat sarapan pagi inilah yang aku lakoni hingga saat ini, sambil sekali-kali aku masih mengerjakan order terjemahan.
Ternyata benar juga kata orang tua bahwa hidup akan terasa berat bila kita melakoninya dengan keluh kesah, dan akan terasa ringan bila kita menjalaninya dengan sabar dan tidak berputus asa.
Peran keluarga sangat berperan penting buat aku. Suami yang penuh perhatian menjadi kekuatan utamaku. Walau dia tak pernah selalu ada di sampingku karena juga harus mencari nafkah (bahkan hingga jauh ke belahan dunia yang lain), namun caranya menjalankan peran suami selalu mampu membuatku bertahan. Aku sungguh tidak keliru memilihnya sebagai pendamping hidup :).
Negara ini (dan suamiku) membuatku lebih kuat dan mandiri sebagai pribadi. ...bersambung ...
Aku dan keluarga (Lars dan Bintang) tiba di Denmark akhir Pebruari 2010. Ketika itu aku masuk ke Denmark dengan mengantongi visa turis 3 bulan.
Sesampainya kami di Denmark, aku dan suami bergegas mengurus semua hal yang berkaitan dengan ijin tinggal 2 tahun pertamaku. Waktu itu aku sempat kuatir karena kami masih tinggal menumpang di rumah mamanya Lars. Untung peraturan menyatakan boleh tinggal bersama orangtua asal bisa membuktikan dengan dokumen2 rumah yang sah.
Setelah semua dokumen siap, kami berdua mengantarkannya sendiri ke bagian pelayanan orang asing di kantor polisi di Slagelse (kota domisili kami). Waktu itu proses pembuatannya belum dikenakan biaya seperti sekarang. Kami diminta untuk menunggu kabar selanjutnya tentang ijin tinggalku. Walau visa turisku habis masa berlakunya di bulan Mei 2010, aku masih diperbolehkan untuk tinggal di Denmark karena statusku yang menunggu proses ijin tinggal pertamaku.
Alhamdulilah di akhir Mei 2010, aku sudah mengantongi ijin tinggal pertama untuk 2 tahun pertama. Dengan ijin tinggal itu aku memiliki hak untuk mendapatkan sekolah bahasa gratis, bekerja, dan pelayanan sosial lainnya. Pintu pertama sudah terbuka.
Aku memasukinya dengan memulai mempelajari bahasa Danish. Tantangan yang luar biasa, karena bahasa yang satu ini tidak bisa dibilang mudah. Aku masuk pendidikan bahasa 3 (Dansk Uddanelse 3) dan dimulai dengan modul 1. Sekolah bahasa ini aku jalani secara rutin layaknya sekolah biasa: dari jam 8.15 pagi hingga 2 siang.
Kenapa kok belajar bahasa Danish itu penting? Karena bahasa Danish adalah pintu utama yang membuatmu nyaman tinggal di negara ini. Walau banyak warga Denmark handal berbahasa Inggris, namun mereka akan lebih menghormati bila kita mampu berkomunikasi dalam bahasa Danish. Selain itu kemampuan bahasa Danish menjadi kunci pembuka pintu-pintu peluang lainnya: seperti misalnya melanjutkan sekolah atau bekerja.
Kenapa kok harus kerja? Iyalah, kita harus menghasilkan uang di negara ini. Selain karena kebutuhan ekonomi pribadi, apa-apa serba mahal di sini :( Negara juga mendorong penduduknya untuk berkontribusi secara aktif dalam pemasukan pajak negara. Uang pajak itulah yang kembali dalam bentuk sekolah gratis, RS gratis, jalan tol gratis, dsb.
Aku mulai hunting cari kerja sejak aku mulai masuk modul 3 di sekolah bahasa. Susahnya minta ampun. Ratusan lebih surat penolakan aku terima. Paling banter pun hanya masuk interview awal. Kendala utamanya adalah kemampuan bahasa danishku yang masih belum bagus, sementara banyak orang2 Danish juga sedang berburu pekerjaan yang sama. Stress pun mulai melanda. Rasa percaya diriku melotot drastis.
Namun aku tidak berhenti berusaha. Tanya kiri kanan, akhirnya di akhir bulan Juni 2011 ada seorang kawan satu sekolah yang menawari pekerjaan di kafe kecil yang berada di dalam kebun penjualan bunga mawar. Walaupun sama sekali tidak memiliki pengalaman di restoran sebelumnya, aku memberanikan diri mengambil tantangan ini.
Aku bekerja di sana selama musim panas Juni hingga akhir Agustus 2011. Banyak hal baru aku pelajari. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga sosial budaya berinteraksi langsung dengan banyak orang2 Danish.
Alhamdulilah lambat laun bahasa danishku mulai terasah. Di saat yang sama aku mencoba-coba melamar sebagai tenaga penerjemah paruh waktu di kantor polisi. Gayung bersambut, mereka memanggilku untuk interview dan tes, karena mereka masih membutuhkan penerjemah dari Indonesia. Setelah interview dan tes, aku dinyatakan lulus dan mendapat nomor resmi penerjemah dari pihak kepolisian. Namaku terdaftar resmi sebagai tenaga penerjemah!
Pekerjaan ini aku lakukan di waktu senggang ketika sedang off bekerja di restoran. Lumayan lah selain melatih keberanian, aku juga mengasah terus kemampuan bahasa Danish yang aku pelajari di sekolah (selain tentunya menambah uang belanja ;) )
Musim panas 2011 berakhir, tempatku bekerja harus tutup untuk sementara, karena musim dingin mulai menjelang. Praktis aku kehilangan pekerjaan yang memberiku penghasilan. Stress mulai pun melanda lagi. Aku segera sibuk mencari pekerjaan baru. Bersepeda keliling menawarkan CV ke semua tempat menjadi aktivitas rutinku hampir tiap hari. Banyak orang angkat topi untuk usahaku ini.
Di puncak kegalauanku aku ingat masih punya simpanan perhatian dari pihak job centre Slagelse, karena sejak aku tinggal di Denmark mereka terkesan cuek dan tidak pernah menanyakan kondisiku samasekali. Hanya lewat pos saja mereka berkomunikasi denganku, hanya untuk urusan tandatangan kontrak integrasi :(
Aku telpon mereka dan menyatakan ingin bertemu. Di dalam pertemuan pertama, protes pertama yang aku lempar adalah "kemana saja selama ini, kok ga ada perhatian sama sekali?" Jawab mereka malah membuatku tambah kesal, mereka bilang pihak sekolah bahasa bilang kamu pandai dan bisa mencari pekerjaan sendiri. Jadi tidak perlulah kami membantumu. Aku tidak bisa menerima alasan ini, dan dengan sedikit menekan meminta mereka mencarikan aku pekerjaan. Aku ingat saat itu konsulerku bertanya "pekerjaan apa yang kamu inginkan?" aku jawab: "manager". Dia tersentak dan menjawab: "sabar lah kami belum bisa mencarikan pekerjaan untuk level itu karena mengingat kamu belum selesai sekolah bahasa". Akhirnya di ujung pertemuan mereka berjanji mencarikan pekerjaan (apa saja asal halal) untuk aku. Tanpa bisa protes berpanjang lebar aku menerima tawaran mereka.
Hanya satu hari berselang setelah pertemuan dengan job centre, akhir september 2011 aku sudah terdampar di Danhostel Korsør (sejenis tempat penginapan, tempat kursus, rapat, pesta, dsb). Sebagaimana pendatang lainnya dari Thailand, Cina, Vietnam dan Somalia, pekerjaan awal yang harus aku lakoni adalah sebagai cleaning service yang harus membersihkan kamar, lantai, dapur, jendela, termasuk membersihkan toilet. Terus terang aku benci pekerjaan ini, namun aku tak punya pilihan lain. Ini adalah pintu yang harus aku masuki dengan sabar dan ikhlas.
Alhamdulilah hanya kurang dari 3 hari, pintu lain terbuka untukku. Setelah mengamatiku selama 3 hari :) mereka menawari aku membantu bekerja di kantor dan sekali-kali membantu menyiapkan makanan pagi buat para tamu. Selamat tinggal toilet :)
Pekerjaan sebagai asisten kantor/ resepsionis merangkap pembuat sarapan pagi inilah yang aku lakoni hingga saat ini, sambil sekali-kali aku masih mengerjakan order terjemahan.
Ternyata benar juga kata orang tua bahwa hidup akan terasa berat bila kita melakoninya dengan keluh kesah, dan akan terasa ringan bila kita menjalaninya dengan sabar dan tidak berputus asa.
Peran keluarga sangat berperan penting buat aku. Suami yang penuh perhatian menjadi kekuatan utamaku. Walau dia tak pernah selalu ada di sampingku karena juga harus mencari nafkah (bahkan hingga jauh ke belahan dunia yang lain), namun caranya menjalankan peran suami selalu mampu membuatku bertahan. Aku sungguh tidak keliru memilihnya sebagai pendamping hidup :).
Negara ini (dan suamiku) membuatku lebih kuat dan mandiri sebagai pribadi. ...bersambung ...
Subscribe to:
Posts (Atom)