Translate

Wednesday, August 11, 2010

Aktif di Denmark

Tanpa terasa sudah hampir 6 bulan, aku menjalani hari-hari baruku di Denmark. Setiap kali ditanya dalam bahasa Danish `´Kan du god lide bor i Danmark?´` (betah tidak tinggal di Denmark), aku pasti mengangguk tersenyum dan mencoba menjawab diplomatis ´´hidup di sini lebih berat daripada ketika di Indonesia, namun saya mencoba menjalaninya´´.

Kendala utama hidup di dataran utara Eropa ini bukan hanya soal cuaca yang lebih sering dinginnya daripada panasnya, namun juga aspek-aspek lain seperti perbedaan bahasa dan budaya. Banyak saudara atau teman yang mengira hidup dan tinggal di Denmark lebih enak daripada tinggal di Indonesia, pemikiran itu belum tentu benar, tapi bukan berarti salah sama sekali.

Hidup di Denmark berat karena setiap individu dewasa dan normal di sini harus dapat menjalani hidup secara mandiri dan memberikan kontribusi positif kepada negara melalui pajak pendapatan dan juga peran aktif di dalam masyarakat. Selain itu ngga enaknya, hampir semua barang dan jasa di Denmark harganya alamak mahalnya (apalagi kalau kita bandingkan harganya dengan di Indonesia, bagai bumi dan langit!). Ketika di Indonesia, ketika berbelanja di supermarket , hampir tak pernah aku mengecek harga barang yang mau diambil atau membanding-bandingkan harga dari setiap produk, namun di Denmark, para konsumen sangat aware terhadap harga produk karena akan sangat mempengaruhi jumlah pengeluaran belanja mereka sehari-hari. Jadi mereka sangat-sangat teliti sebelum membeli. Beda harga sedikit sangatlah berarti :D

Selain itu tak perduli betapa sibuk dan lelahnya pasangan suami istri bekerja di luar rumah mencari nafkah, ketika mereka tiba di rumah semua pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci , merawat anak dan sebagainya harus dikerjakan secara bersama-sama tanpa membedakan ini tugas suami, itu tugas istri, karena di Denmark jarang sekali keluarga memiliki pembantu rumah tangga. Mungkin hanya keluarga kerajaan atau bangsawan saja yang punya karena gaji pembantu di Denmark bukan dihitung secara bulanan, namun per jam dan itu juga tidak full 24 jam seperti mbak-mbak kita di Indonesia :P. Seorang Ou Pair (baby sitter) keluarga kaya, dia hanya boleh bekerja 4 jam dalam sehari dan mendapatkan libur 2 hari dalam seminggu. Gaji bersihnya nya sekitar 4000-5000 DKK perbulan atau sekitar Rp 7-8 juta. Pajak pendapatan Ou pair tersebut juga ditanggung oleh sang majikan. Gaji tersebut termasuk kecil di Denmark karena harga barang dan jasa yang sangat-sangat mahal di sini. Jadi gaji segitu, hitung-hitung hanya untuk uang saku atau uang jajan si Ou Pair karena dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan tempat tinggal. Semuanya ditanggung oleh majikan. Ayo siapa yang mau jadi Ou pair di Denmark? :D

Jadi seperti di keluargaku yang nota bene sama sekali bukan keluarga bangsawan :P, pagi-pagi sekali sekitar pukul 6 pagi aku sudah bangun dan menyiapkan keperluan Bintang seperti kotak makan siang dan keperluannya selama di bornehave. Suamiku Lars dengan kesadaran dan tanggungjawabnya yang tinggi, juga bangun dan membantuku menyiapkan sarapan pagi. Setelah beres mendadani Bintang, dia akan mengantar kami. Pertama dia akan mengantarku ke sekolah bahasa dan kemudian mengantar Bintang ke bornehave. Setelah itu dia akan kembali ke rumah dan bekerja dari rumah. Sementara ini selain bekerja secara paruh waktu sebagai konsultan, profesi utamanya adalah sebagai supir keluarga dan tukang masak :D . Semua itu dia lakoni dengan senang hati dan tanpa keluh kesah. Bahkan terkadang dia tanpa sungkan membantu menjemurkan pakaian-pakaian basah dari mesin cuci. Entah bagaimana rasanya, bila aku harus hidup tanpanya. Dia suami yang sangat ringan tangan (bukan berarti suka memukul istri ya) :P.

Berat memang hidup tanpa pembantu, itu jujur yang aku rasakan. Namun lambat laun aku bisa mengatasinya dan mulai menikmatinya :D. Aku juga belajar tidak manja dan mentang-mentang. Dulu ketika di Jakarta, untungnya aku tidak terlalu maniak pergi kemana-mana dengan taksi. Pergi dan pulang dari kampus UI Salemba setiap harinya aku pasti selalu menggunakan mikrolet, walau harus menyambung berkali-berkali hingga kediaman mewahku di Pejaten Barat :D. Mungkin buat orang yang tahu aku ´´istri orang bule´´ pasti akan bertanya-bertanya. Tapi aku ga perduli, karena sejak SD aku memang suka naik mikrolet dan tidak akan berhenti hanya karena aku sudah menikah dengan bule. Malah aku kadang-kadang saat libur iseng mengajak suamiku naik metro mini, kopaja dan bahkan KRL ekonomi ke Bogor . Kami juga sering nongkrong santai di tenda bebek goreng yang ada di pinggir jalan di sekitar Blok M :D. I am is I am :D. I will never change :D

Jadi ketika tinggal di Denmark, aku tidak peduli mobil apa yang aku punya, naik apa aku ke sekolah nanti dsb.dsb.. malah buat aku naik bis di Denmark sangat-sangat praktis dan FUN. Aku berencana pertengahan September nanti ketika kami pindah lagi ke kota Slagelse, kendaraan utama yang akan aku gunakan untuk berangkat sekolah dan menjemput Bintang adalah SEPEDA. Selain praktis dan sehat, aku lihat perempuan di Denmark terlihat sexy ketika bersepeda di jalan. Apalagi mereka bersepeda dengan dandanan cewek yang super modis :D. Ga ada tuh istilah gengsi bersepeda di sini. Itu yang aku suka sekali!

Selain itu enaknya tinggal di Denmark, kesempatan kita untuk menambah ilmu dan wawasan sangat lah terbuka luas. Pihak pemerintah melalui kantor kommune, lembaga-lembaga pendidikan formal-informal, dan beberapa LSM memiliki program-program edukatif berupa kursus-kursus singkat beragam topik dari sosial budaya, kesenian, olahraga, pengembangan diri, hingga ketrampilan. Semuanya terbuka luas bagi setiap penduduk. Banyak di antaranya yang bahkan gratis alias tidak dipungut biaya samasekali. Jadi tidak ada istilah hidup pasif di sini karena semua kesempatan untuk mengembangkan wawasan tersedia lengkap.

Aku sendiri memilih untuk mulai bekerja secara sukarela untuk Palang Merah Denmark Slagelse. Mereka memiliki program pendampingan terhadap remaja perempuan usia sekitar 13 hingga 20 tahun yang telah memiliki anak. Kebanyakan dari mereka adalah orangtua tunggal dan tidak mendapatkan dukungan samasekali dari siapapun dalam keluarga mereka. Palang Merah Denmark Slagelse menjadi semacam fasilitator jaringan ibu-ibu muda ini sehingga mereka dapat saling mendukung dan membantu satu sama lainnya. Aku mungkin akan ditempatkan untuk membantu kelompok anak-anak mereka yang berusia antara 3 hingga 7 tahun. Ketua PM Denmark Slagelse menempatkan aku di kelompok anak-anak itu karena dia yakin kemampuanku berbahasa Danish dapat cepat terasah bila sering berinteraksi dengan anak-anak :D . ´´Mereka tidak perduli tata bahasamu salah, yang mereka perlukan adalah kepribadian yang FUN dan energik. Saya rasa kamu cocok´´ , begitu katanya ketika kami bertemu membahas pekerjaan apa yang bisa aku lakukan pertamakali.

Proyek selanjutnya, dia mengharapkan aku dapat membantu membentuk kelompok imigran atau pendatang di Denmark yang hidupnya desperate. Pola pendekatan adalah melalui pendekatan secara personal karena banyak diantara mereka sangat-sangat membutuhkan seseorang yang bisa menjadi LIFE WITNESS alias menjadi sahabat yang mau mendengarkan dan malakukan sesuatu yang sederhana tanpa tumpang tindih dengan layanan yang mereka telah terima dari kommune setempat. Kelompok kedua ini diharapkan kedepannya dapat terpadu dengan kelompok pertama . Namun untuk proyek kedua ini, dia menunggu hingga kemampuanku berbahasa Danish sudah lebih bagus daripada sekarang. Sebagai imbalannya Palang Merah Denmark Slagelse akan mengikutsertakan aku dalam berbagai kursus-kursus terkait tanpa harus membayar SEPESERPUN!

Tentu , aku sangat sangat antusias sekali :D. Hari-hariku berarti tidak hanya melulu sekolah bahasa dan rumah tangga. Namun aku akan mulai berbaur langsung dengan masyarakat Denmark melalui akses dari Palang Merah Denmark Slagelse. Memang saat ini, aku tidak akan mendapatkan uang sepeserpun, namun kesempatan untuk belajar dan membuka wawasan baru buatku lebih berharga dari lembar-lembar uang yang bisa habis dibelanjakan hanya dalam hitungan jam.