Translate

Wednesday, May 12, 2010

Persamaan yang memiliki konsekuensi

Kesan kuat yang kurasakan ketika mengenal kehidupan dan budaya Denmark adalah karakter perempuan Denmark yang kuat. Kuat yang kumaksud adalah 'mereka tahu apa yang mereka mau' serta 'lebih berani mengambil keputusan untuk hidup mereka sendiri'. Kesan kuat itu semakin bertambah ketika mendengar intonasi bahasa Danish yang keluar diucapkan dari mulut perempuan Danish terkesan lebih keras dan menghentak daripada laki-laki. Tentu saja semua ini adalah murni subyektivitas dari apa yang kurasakan dan kudengar sehari-hari ketika berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman di sini.

Ketika kusampaikan hal ini kepada beberapa teman perempuan Danish, kesan kuat yang kurasakan itu mungkin disebabkan oleh pola asuh anak di Denmark. “Di Denmark, sejak kecil kami telah diberi ruang gerak dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki sehingga kami tidak takut untuk bersaing secara sehat dengan mereka”, jelas Dorte kawan baruku yang memiliki keahlian dalam mendesign pakaian, namun memutuskan untuk meneruskan pendidikan S2 nya dalam bidang psikologi anak. Selain itu di Denmark kaum perempuan sangat dilindungi secara hukum baik dalam aspek kehidupan keluarga (hubungan suami-istri) maupun kehidupan di dunia kerja.

Namun menurut Dorte, kondisi ‘persamaan’ tersebut tidak serta merta menguntungkan perempuan, karena ternyata juga menimbulkan dilema di dalam diri si perempuan sendiri. Misalnya ketika perempuan itu bekerja full time dan suatu waktu dia menikah, hamil dan harus mengasuh anak. Kebanyakan perempuan Danish sebetulnya lebih memilih untuk dapat cuti hamil lebih lama daripada hanya 12 bulan (peraturan cuti hamil di Denmark) dan menikmati kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga full time dan tidak perlu bekerja di luar rumah. Namun perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja masih sangat janggal di Denmark. Selain itu kaum laki-laki atau suami lebih menyukai istrinya untuk juga bekerja menghasilkan uang dalam rangka membantu kehidupan ekonomi (bukan sekedar mencari aktualitas), karena di Denmark penghasilkan dari suami saja tidak akan cukup untuk menopang kehidupan suatu keluarga dengan anak-anak . Walau sekolah dan kesehatan 100% gratis, namun biaya hidup di Denmark sangatlah tinggi. Selain itu sistem sosial di Denmark sangat mengharapkan perempuan untuk turut berperan aktif dalam dunia kerja sehingga dapat memberikan kontribusi berupa pajak yang akan dimanfaatkan kembali untuk kehidupan masyarakat bersama (sekolah, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dsb).

Beda sekali dengan di Indonesia, dimana bekerja full time masih menjadi pilihan alternatif bagi sebagian kaum perempuan. Perempuan di Indonesia masih dapat leluasa memilih untuk bekerja (itu juga kalau diijinkan suami ) atau tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga full time. Tentu saja tidak semua kaum perempuan Indonesia memiliki hak istimewa seperti itu, banyak juga perempuan-perempuan yang harus bekerja demi mempertahankan hidup misalnya perempuan pekerja pabrik, pekerja seks komersial, dan masih banyak contoh lainnya dimana perempuan mau tak mau harus bekerja di luar rumah.

Selain itu persamaan antara laki-laki dan perempuan tidak 100% mutlak berlaku di negeri ini. Misalnya ketika pemilihan ketua organisasi terdapat dua orang kandidat satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Walaupun secara kualitas keduanya sama, kemungkinan besar organisasi itu akhirnya akan diketuai oleh sang laki-laki karena lebih hemat secara biaya. Perempuan Danish dengan fasilitas dan perlindungan yang dia miliki ternyata dianggap sebagai ‘produk mahal’ (misalnya karena dia tetap mendapatkan gaji full walau cuti hamil selama 1 tahun) belum lagi hak-hak mengajukan keluhan/ complain. Jadi seperti senjata makan tuan.

Di dunia kerja walaupun secara hukum dinyatakan secara tegas tidak diperbolehkan membedakan pemberian upah antara laki-laki dan perempuan, namun pada kenyataannya di Denmark perempuan masih mendapatkan gaji yang sedikit lebih rendah daripada laki-laki. “Perempuan Danish tampaknya kurang agresif dalam melakukan negosiasi upah”, begitu jelas suamiku ketika kutanyakan mengenai hal ini.

Jadi ternyata kesan kuat yang kurasakan itu tidak semuanya benar dan tidak semuanya salah. Semuanya mengandung konsekuensinya masing-masing. Misalnya ketika Dorte memutuskan untuk berpisah dan bercerai dengan suami pertamanya . “Saya tidak dapat lagi meneruskan pernikahan itu dan itu merupakan pilihan yang juga dihormatinya (mantan suami)”, ujarnya. Sakit hati dan konflik selama proses perceraian adalah hal yang wajar dan dirasakan oleh hampir semua pasangan yang berpisah. “Mungkin kami di Denmark melihat perceraian ini secara lebih santai saja, jadi kebanyakan orang Denmark setelah bercerai masih menjadi teman dan masalah pengasuhan anak-anak ditanggung bersama-sama”, jelasnya lagi ketika kusinggung bagaimana perempuan Danish menghadapi masalah perceraian.

Sunday, May 9, 2010

Masalah keterasingan dan minimnya promosi tentang Indonesia

Menjadi satu-satunya orang Indonesia di tengah-tengah kerumunan orang-orang Denmark sempat menjadi masalah besar buatku. Dulu pertama kali datang ke Denmark sekitar tahun 2005, aku sempat home sick berat dan merasa kesepian di tengah keramaian ketika harus berada di tengah-tengah mereka. Hal itu terjadi terutama sekali disebabkan kendala bahasa. Aku ngga ngerti sama sekali bahasa Danish dan mereka jarang sekali berbicara dalam Bahasa Inggris, walau Bahasa Inggris mereka tidak kalah bagusnya dengan orang Inggris sendiri 
Dari waktu ke waktu masalah keterasingan itu semakin berkurang kadarnya. Lambat laun aku mulai bisa mengerti dan memahami bahasa dan terutama cara pikir mereka. Kadang-kadang aku memberanikan diri berbicara dalam bahasa mereka. Salah-salah dikit tak apa yang penting nekat :P Mereka memberikan respon yang baik dan membantuku membetulkan pelafalan kata yang aku ucapkan.

Selain kendala bahasa, kendala lainnya adalah kesabaran dan ketahanan fisik ketika kita berada di tengah mereka, misalnya saat makan malam acara keluarga, bertandang ke rumah kawan dekat, pesta babtis dan sebagainya. Soalnya mereka senang sekali ngobrol ngalor ngidul (tapi bukan ngegosip lo :D) dan melontarkan joke-joke yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Waktu makan malam keluarga di akhir pekan bisa dimulai dari pukul 7 hingga 12 malam bukan karena ngunyah makanannya yang lama, tapi acara ngobrolnya yang panjannnnnng banget (tentunya diselingi makan pembuka, makan utama, makanan penutup, dan dilanjut lagi dengan minum kopi). Dan itu ngobrolnya sudah pasti dalam bahasa mereka. Dulu sebelum punya Bintang, susah mau pamit mundur karena ngga ada alasan kuat buat aku (ngantuk berat ternyata tidak cukup untuk menjadi alasan). Suamiku pasti ngga akan membolehkan aku tidur lebih dahulu, katanya: “You have to learn our culture” :P . Sekarang setelah ada Bintang lumayan lah ada alasan untuk masuk kamar duluan soalnya harus ngelonin Bintang tidur hehehe. Acara makan buat orang Denmark ternyata bukan hanya untuk mengenyangkan perut yang lapar, tapi benar-benar menjadi ajang sosialisasi dan relaksasi rutin.

Akhir pekan ini, Lars dan aku datang ke pesta ulangtahun seorang kawan baik Lars, Michael Beck yang ke-50 tahun. Dalam acara pesta semi-formal itu aku satu-satunya orang Indonesia (Asia) di antara kurang lebih 60 orang Denmark di sana. Tidak seperti saat pertama merasakan keterasingan karena menjadi minoritas, kemarin aku begitu menikmati suasana pesta. “Be yourself” , begitu mottoku sekarang :D

Aku banyak mendapatkan teman ngobrol yang asyik dan semuanya ternyata pernah mengunjungi Indonesia.

Knud (ayah Dorthe, istri Michael Beck) : “Anna, kenapa kamu meninggalkan negerimu yang indah itu?” “Maunya sih tidak, tapi gara-gara dia nih yang menculikku”, jawabku bergurau sambil melirik Lars suamiku yang berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri.

Knud pernah mengunjungi Indonesia 3 kali, dia pernah mengunjungi Danau Toba, Jakarta, Dieng, Pangandaran, dan Banda Aceh. Di Banda Aceh dia dan istrinya sempat mendapat masalah, karena tidak ada satupun hotel yang berani menerima mereka bermalam. Saat itu tahun 1994. Akhirnya setelah lelah mencari tempat bermalam seorang tokoh Aceh membantu mereka mendapatkan tempat menginap di satu-satunya hotel yang ‘tidak takut’ menerima tamu asing, dan hotel itu terletak jauh di luar kota Banda Aceh. Walau pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, dia tidak kapok untuk datang ke Indonesia lagi.
Jacob (mantan suami Sene, adik kandung Michael Beck) juga pernah mengunjungi Indonesia. Dia selama 3 bulan menjadi backpacker di kepulauan Maluku. Dia tinggal bersama-sama penduduk lokal di sana dan mempelajari bahasa setempat. Slogannya: “aku bukan turis” :D

Leif dan Dorte mereka berdua pasangan suami istri sahabat Michael Beck dan Dorthe. Leif pernah berlayar selama 9 bulan menyusuri bagian barat Sumatera hingga Flores. Sedangkan Dorte baru sempat mengunjungi Bali saja dalam rangka berlibur bersama Leif beberapa tahun yang lalu.

Dan terdapat beberapa orang Denmark lainnya yang aku tidak ingat namanya mendatangiku menyalami aku dengan ramah dan bercerita tentang pengalaman mereka ketika datang ke Indonesia. Duh, rasanya bangga sekali Indonesia dikenal oleh orang-orang ini.

Michael Beck sendiri empunya acara, mengunjungi Indonesia bukan lagi hal baru baginya. Dia pernah tinggal di Manado, Semarang dan mengunjungi Bali-Lombok untuk urusan kerja.
Sayangnya, promosi Indonesia tidak segencar promosi Thailand. Aku samasekali belum pernah melihat iklan tentang promosi visit Indonesia di media-media Denmark. Mereka rata-rata tahu tentang Indonesia dari teman atau saudara yang pernah mengunjungi Indonesia dalam urusan pekerjaan atau dinas. Sayang sekali padahal dunia pariwisata kita tidak kalah dengan Thailand atau negara-negara Asia lainnya.

Mudah-mudahan ke depan aku dapat melakukan sesuatu untuk membantu mempromosikan Indonesia di Denmark.